Friday, 1 November 2013

Kisah Hijrah Nabi Muhammad ke Madinah



Kisah Hijrah Nabi Muhammad ke Madinah

Masjid Nabawi
Pada kesempatan kali ini saya akan memposting kisah perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW. Perjalanan beliau penuh dengan lika liku, terjadi konspirasi untuk membunuh Nabi SAW. Namun Allah menolong beliau. Kisah ini dimulai dari kesepakatan kaum Quraisy untuk membunuh Nabi SAW. Selamat membaca!

Setelah pembesar-pembesar Quraisy sepakat untuk menghabisi Nabi SAW, Jibril turun kepada beliau membawa wahyu, seraya mengabarkan persengkokolan Quraisy dan bahwa Allah SWT sudah mengizinkan beliau untuk pergi hijrah, seraya berkata " Janganlah engkau tidur  di tempat tidurmu malam ini seperti biasanya."

Sementara itu  para pemuka Quraisy membuat persiapan untuk melaksanakan rencana jahat mereka. Untuk melaksanakan rencana ini, ditunjuk 11 orang terkemuka di antara mereka, yaitu:

1 .  Abu Jahal bin Hisyam

2.   Al-Hakam bin Abul-Ash

3.   Uqbah bin abu Mu'aith

4.   An-Nadhar bin Al-Harits

5.   Umayyah bin Khalaf

6.   Thu'aimah bin Ady

7.   Zam'ah bin Al-Aswad

8.   Abu Lahab

9.   Ubay bin Khalaf

10. Nubih bin Al-Hajjaj

11.  Munabbih Al-Hajjaj

Seperti yang sudah dirancang, rencana jahat itu akan dilaksanakan pada tengah malam. Maka mereka terus berjaga menunggu saat yang sudah di tentukan.

Sekalipun rencanan Quraisy disusun secara matang, namun tetap saja mereka gagal total. Pada saat-saat yang krisis itu Nabi SAW menyuruh Ali bin Abu Thalib untuk tidur di tempat tidurnya dengan menggunakan mantel hijau milik Nabi SAW. Kemudian Nabi Muhammad SAW keluar rumah menyibak kepungan mereka, lalu memungut segenggam pasir dan menaburkan ke kepala mereka, lalu pergi ke rumah Abu Bakar. Sesungguhnya Allah SWT telah membutakan mereka, sehingga mereka tidak bisa melihat beliau.

Para pemuda yang sudah disiapkan Quraisy, dari sebuah celah, mengintip ke tempat tidur Nabi SAW. Mereka me­lihat ada sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mereka pun puas bahwa orang yang mereka incar belum lari. (masyaAlloh)

Menjelang larut malam, Rasulullah keluar rumah menuju kediaman Abu Ba­kar Ashshiddiq. Beliau keluar melalui jendela pintu belakang dan terus bertolak ke arah se­latan, ke arah Yaman, menuju Gua Tsur.

Untuk mengelabui para pemuda Quraisy yang telah menutup semua jalur menuju Madinah, Rasulullah me­mutus­kan menempuh jalan lain, rute yang ber­beda, dari jalur yang biasa di­gunakan pen­duduk Makkah untuk me­nuju Madi­nah. Beliau juga memutuskan akan berang­kat bukan pada waktu yang biasa.

Para pemuda Quraisy yang beren­cana akan menyergap Nabi SAW pun ke­mudian memasuki rumah beliau. Na­mun alangkah terkejutnya mereka, ka­rena ternyata beliau sudah tidak ada di tempat. Mereka hanya mendapati Ali sedang tidur di kasur beliau.

Di sinilah, sebagaimana dipaparkan Muham­mad Husain Haikal, dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh ba­haya, demi kebenaran, keyakinan, dan ke­iman­an.

Yang ditempuh Rasulullah setelah keluar dari rumah beliau adalah Gua Tsur, yang berjarak sekitar enam hingga tujuh kilometer di selatan Makkah. Se­dangkan Madinah berada di sebelah utara Makkah. Langkah ini diambil untuk mengelabui kafir Quraisy.

Masjid Al-Haram

Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar, yang menemani beliau, tinggal selama kurang lebih tiga hari. Sebelum melangkahkan kaki, Ra­sulullah menatap kota Makkah dari ke­jauhan. Dengan berlinang air mata, be­liau berucap, “Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan paling aku cintai. Andai kata tidak diusir, aku tak akan meninggalkanmu, wahai Makkah.”

“Janganlah Engkau Bersedih Hati…”

Gua yang sempit dan jarang dising­gahi manusia itu dipilih untuk satu tujuan yang tidak diketahui siapa pun kecuali Nabi, Abu Bakar, sahabat yang kelak menjadi mertua beliau, dan ada empat orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Abdullah dan Asma (keduanya putra-putri Abu Bakar), serta pembantu Abu Bakar, Amir bin Fuhairah.

Keempat orang itu mendapat tugas yang sangat strategis bagi kesuksesan perjalanan yang amat bersejarah ter­sebut.

Ali berdiam di rumah Rasul SAW untuk mengelabui kaum musyrikin. Ab­dullah ditugasi untuk memantau per­kem­­bangan berita di kalangan orang-orang kafir Makkah lalu menyampai­kannya kepada Rasul pada malam hari­nya ke tempat persembunyian. Asma setiap sore membawa makanan buat Rasul dan ayahnya. Amir bin Fuhairah ditugasi menggembalakan kambing Abu Bakar, memerah susu, dan me­nyiap­kan daging. Apabila Abdullah bin Abu Bakar kembali dari tempat mereka bersembunyi di gua itu, datang Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus jejak.

Sementara itu pihak Quraisy beru­saha keras mencari jejak Rasul SAW dan Abu Bakar. Pemuda-pemuda Qu­raisy dengan wajah beringas membawa senjata tajam, mondar-mandir mencari ke segenap penjuru.

Ketika bergerak menuju Gua Tsur, mereka menyambangi bibir gua itu.

Sang pemimpin hendak menerobos masuk, tapi kemudian tidak jadi.

“Kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya anak buahnya.

“Setelah aku amati, tampaknya gua ini tak mungkin dijadikan persem­bunyi­an. Di dalamnya ada sarang laba-laba dan sarang burung liar hutan. Akal se­hatku mengatakan, tidak mungkin ada orang yang masuk ke dalamnya, bah­kan tak ada bukti yang menunjukkan jejak orang yang kita cari,” katanya.

Sedangkan di dalam gua, Abu Bakar merasa khawatir. Apalagi men­de­ngar derap langkah orang-orang itu. Ia ber­kata kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, andai salah seorang di antara mereka menemu­kan kita, habislah kita. Jika aku mati, apalah diriku. Tapi jika dirimu yang mati, tamatlah riwayat dakwahmu. Bagaimana jadinya?”

Beliau menjawab dengan balik ber­tanya, “Apa yang ada di benakmu jika ber­duanya kita di sini juga ada Allah, yang ketiga di antara kita?”

Maka turunlah firman Allah yang artinya, “Kalau kamu tidak menolong­nya, sesungguhnya Allah telah meno­long­nya, (yaitu) tatkala orang-orang kafir mengu­sirnya, sedang dia salah seorang dari dua orang itu, ketika ke­duanya berada dalam gua. Waktu dia berkata kepada teman­nya, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah bersama kita.’ Maka Allah me­nu­run­kan ketenangan kepada­nya dan dikuatkan-Nya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadi­kan seruan orang-orang kafir itu rendah, sedangkan kalimah Allah itulah yang tinggi. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana.” — QS At-Tawbah (9): 40.

Setelah meyakini bahwa apa yang dicari tampaknya tidak membuahkan ha­sil, gerombolan musyrikin ini mening­gal­kan gua tersebut.

Tiga hari tiga malam Rasulullah SAW bersama Abu Bakar di dalam gua yang senyap dan gelap itu.

Pada hari ketiga, ketika keadaan su­dah tenang, unta untuk kedua insan yang saling mencintai ini didatangkan oleh Amir bin Fuhairah. Asma pun da­tang menyiapkan makanan.

Dikisahkan, Asma merobek ikat pinggangnya lalu sebelahnya diguna­kan untuk menggantungkan makanan dan yang sebelah lagi diikatkan, sehing­ga ia lalu diberi nama Dzat an-Nithaqain (Yang Memiliki Dua Sabuk).

Setelah tiga malam berada di gua, pada malan Senin tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun pertama Hijriyyah, atau pada tanggal 16 September 622 M, Ra­sulullah SAW, Abu Bakar RA, Amir bin Fuhairah, beserta seorang penunjuk ja­lan yang bernama Abdullah bin Uraiqith, keluar dari gua, berangkat menuju Madi­nah. Rasulullah SAW duduk di atas unta, yang dalam kitab tarikh disebut dengan nama “Al-Qushwa”.

Menjelang siang, Rasulullah SAW dan Abu Bakar berangkat meninggal­kan Gua Tsur.

Karena mengetahui pihak Quraisy sangat gigih mencari mereka, mereka mengambil rute jalan yang tidak biasa ditempuh orang. Dengan ditemani Amir bin Fuhairah dan mengupah seorang Badwi dari Banu Du’il, Abdullah bin ‘Uraiqith, sebagai penunjuk jalan, me­reka berempat menuju selatan Lembah Makkah, kemudian menuju Tihamah di dekat pantai Laut Merah. Sepanjang malam dan siang, mereka menempuh perjalanan yang amat berat.

Selama tujuh hari Rasulullah SAW ber­sama Abu Bakar, Amir, dan penun­juk jalannya menyusuri padang pasir nan luas dan gersang. Mereka beristi­rahat di siang hari karena panas yang mem­bara dan kembali melanjutkan perjalan­an sepanjang malam, meng­arungi pa­dang pasir dengan udara dingin yang menusuk tulang. Hanya iman kepada Allah-lah yang membuat Rasulullah dan sahabat­nya berteguh hati dan merasa­kan damai yang me­nye­limuti.

Pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal tahun ke-14 dari nubuwwah atau tahun pertama dari hijrah, bertepatan de­ngan tanggal 23 September 622 M, Ra­sulullah dan rombongan tiba di Quba dengan sambutan yang luar biasa oleh kaum muslimin yang ada di sana. Ke­mudian berjalan hingga berhenti di Bani Amr bin Auf. Abu Bakar berdiri, semen­tara Rasulullah duduk sambil diam. Orang-orang Anshar yang belum per­nah me­lihat dan bertemu Rasulullah mengira bah­wa yang berdiri itulah Rasulullah, padahal itu Abu Bakar.

Tatkala panas matahari mengenai Rasulullah, Abu Bakar segera mema­yungi beliau dengan jubahnya. Saat itu­lah mereka baru tahu bahwa yang duduk dan diam itulah Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW berada di rumah Kultsum bin Al-Hadm dan menetap di rumahnya selama beberapa hari. Beliau berada di Quba' selama 4 hari, yaitu senin, selasa, rabu, dan kamis. Di sana beliau membangun masjid Quba' dan shalat di dalamnya. Inilah masjid pertama yang didirikan atas dasar takwa dan nubuwah.

Pada hari Jum'at beliau melanjutkan perjalanan, dan Abu Bakar membonceng di belakang beliau. Setelah dari Quba, atau sekitar satu kilo­meter dari Quba, beliau bersama umat Islam lainnya melaksanakan shalat Jum’at. Shalat Jum’at dilaksana­kan di tem­pat Bani Salim bin Auf. Untuk mem­peringati peristiwa itu, dibangunlah mas­jid di lokasi ini dengan nama “Masjid Jum’at”.

Pada hari Jum’at itu pula beliau me­lanjutkan perjalanan menuju Madinah.

Berita tentang hijrahnya Nabi SAW yang akan menyusul kaum muslimin Makkah yang telah tiba sebelumnya su­dah tersiar di Yatsrib (Madinah). Pen­duduk kota ini sangat mafhum, betapa penderitaan akibat kekerasan kafir Qu­raisy telah banyak menimpa Nabi SAW. Oleh karena itu kaum muslimin menanti­kan penuh harap kedatangan Rasulullah dengan hati yang khawatir tapi sekaligus berbunga-bunga ingin melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya.

Banyak di antara mereka yang belum pernah melihat Nabi, meskipun sudah mendengar ihwalnya dan me­nge­tahui pe­sona bahasanya serta keteguhan pen­diriannya. Semua itu membuat me­reka rindu sekali ingin bertemu.

Akhirnya, Rasulullah tiba dengan selamat di kota Madinah pada hari Jum’at, 12 Rabi’ul Awwal, tahun 13 Ke­nabian/12 atau 13 September 622 M. Sambutan penuh suka cita diiringi isak tangis penuh haru dan kerinduan me­nyeruak di langit Madinah. Syair pun ber­kumandang:

Thola‘al badru ‘alayna

Min Tsaniyyatil Wada’

Wajabasy syukru ‘alayna

Ma da‘a lillahi da‘

Ayyuhal mab‘utsu fina

Ji’ta bil amril mutha’

Telah nampak bulan purnama

Dari Tsaniyyah Al-Wada’

Wajiblah kami bersyukur

Atas masih adanya penyeru kepada Allah

Wahai orang yang diutus kepada kami

Engkau membawa sesuatu yang patut kami taati

Thola'al Badru 'AlainaAbu Ayyub segera menyokong Nabi. Ia pun tampil menjadi peno­longnya. De­ngan penuh suka cita, ia telah memper­siapkan bangunan rumah bagi Nabi. “Terserah olehmu, wahai kekasih Allah… bagian mana saja ingin engkau tinggali, kami sangat bahagia bersamamu,” kata Abu Ayyub.

Di rumah pemberian Abu Ayyub-lah Nabi SAW memilih untuk tinggal ber­sama istrinya, Saudah binti Zamah, dan kedua putrinya, Fathimah dan Ummu Kultsum.

Hari itu jatuh pada hari Jum’at, se­hingga beliau bersegera untuk melak­sana­kan ibadah Jum’at yang pertama kali diselenggarakan di Madinah.

Empat hari sebelumnya, sebelum tiba di Madinah, di Lembah Wadi Ra­nunah, Baqi,  tempat penjemuran kurma milik dua orang anak yatim dari Banu Najjar, unta Nabi SAW menghentikan lang­kahnya. Nabi SAW turun dari unta­nya dan bertanya, “Kepunyaan siapa tempat ini?”

“Kepunyaan Sahl dan Suhail bin ‘Amr, wahai Rasulullah,” jawab Ma’adh bin ‘Afra, wali kedua anak yatim itu.

Kedua anak yatim itu berharap kepada Nabi Muhammad SAW agar di lahan milik mereka didirikan masjid. Nabi menyetujuinya, dan itulah masjid yang pertama kali berdiri dalam per­jalanan hijrah yang amat berkesan.

Sebelum tibanya Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA, rombongan pertama Muhajirin telah lebih dulu sampai di Yatsrib beberapa hari sebelumnya.

Aisyah RA meriwayatkan, permu­suhan dan penyiksaan terhadap kaum muslimin bertambah berat di Makkah. Me­reka datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW meminta izin berhijrah. Pengaduan itu dijawab oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, “Sesungguh­nya aku telah diberi tahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang siapa ingin hijrah, hendaklah ia menuju Yatsrib.”

Para sahabat pun bersiap-siap, me­ngemas semua keperluan perjalanan. Bahkan sebahagian besar tidak mem­pe­­dulikan lagi harta benda milik me­reka. Mereka ingin segera melaksana­kan pe­rintah Rasul itu.

Mereka berangkat secara sem­bunyi-sembunyi.

Sahabat yang pertama kali sampai di Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rab‘ah ber­sama istrinya, Laila binti Abi Hasymah.

Setelah itu para sahabat Rasulullah SAW datang secara bergelombang. Me­reka tiba di rumah-rumah kaum An­shar dan mendapatkan tempat perlin­dungan.

Tidak seorang pun di antara sahabat Rasulullah SAW yang berani hijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin Al-Khaththab RA.

Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan, ketika Umar hendak berhijrah, ia mem­bawa pedang, busur, panah, dan tongkat yang diselempangkan di bahu­nya yang kokoh. Saat meninggalkan ru­mahnya, ia me­nuju Ka’bah. Sambil di­saksikan bebe­rapa orang tokoh Qu­raisy, Umar melaku­kan thawaf tujuh kali dengan tenang.

Setelah thawaf ia menuju Maqam Ibrahim dan mengerjakan shalat.

Seusai shalat, ia berdiri seraya ber­kata, “Semoga celakalah wajah-wajah kalian! Wajah-wajah inilah yang akan dikalahkan Allah!

Barang siapa ingin ibunya kehilang­an anaknya, atau istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hen­daklah ia menghadangku di balik lembah ini.”

Tidak seorang pun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberi tahu Umar dan dilin­dungi perjalanannya.

Kemudian Umar berjalan dengan gagah berani dan santai.

Demikianlah, secara berangsur-angsur kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang tertinggal di Makkah, kecuali Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Ali RA, orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit, dan orang-orang yang belum mampu keluar meninggalkan Makkah, termasuk ayah dan beberapa orang anak Abu Bakar RA.

Wallahu'alam


sumber  : kitab  Sirah Nabawiyah karya syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, dan http://pecintahabibana.wordpress.com

17 comments:

  1. Ha'ah.. Tiada pun pceritaan mngenai masjid Quba kan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. jazakallahukhairan Akhi atas masukannya, sudah saya tambahkan dalam artikelnya :)

      Delete
  2. Antara Masjid Quba & masjid Jum'ah, mana dulu dibina???

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bismillah Masjid Quba' terlebih dahulu
      Wallahu'alam

      Delete
  3. terimakasih ya.. bantu buat tugas sirah nabi di sekolah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anak NR ya? 7a/7b/7c?

      Delete
    2. kita ketemu disini, haha iya aku anak nr 7c yang duduk samping dinda :D

      Delete
    3. wey anonymous lu siapa?gue yasmin 7A anak NR :D

      Delete
    4. SAMA sama semoga bermanfaat :)

      Delete
  4. izin copas gan, tapi kok ngga bisa ya :" *tear*

    ReplyDelete
  5. Thank's... Sangat bermanfaat dan Membantu :)

    ReplyDelete
  6. Thanks, bantu tugas sekolah

    ReplyDelete
  7. syukron ... sangat bermanfaat.

    ReplyDelete
  8. bukannya saat masjid selesai dibangun ada bilal bin razab yang mengumandangkan adzan pertama kali?

    ReplyDelete
    Replies
    1. afwan. syariat azan belum ada ketika awal Nabi Hijrah di Madinah. Kamu tentu Tau kan kisah sejarah awal mula adanya Azan

      Delete